Bogor, 10 November 2025 — Di tengah suasana Minggu pagi yang hangat, puluhan anak tampak duduk melingkar di sebuah aula sederhana di Desa Cidokom, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. Di depan mereka, para relawan muda dari berbagai universitas dengan sabar membimbing anak-anak membaca, berdiskusi, dan membuat karya kreatif. Inilah suasana khas Taman Baca Anak (TBA) Cercondeso, sebuah gerakan literasi yang digagas oleh mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan kini menjadi wadah belajar yang berpengaruh di masyarakat.
Program Taman Baca Cercondeso sendiri bukan hal baru bagi masyarakat dan anak-anak Desa Cidokom. Kegiatan ini telah diperkenalkan sejak tahun 2018. Namun, seiring waktu, kegiatan tersebut sempat terhenti karena keterbatasan sumber daya dan belum adanya pengelolaan yang berkelanjutan.
Kisah kebangkitan Taman Baca Cercondeso bermula dari pengalaman Anjas, salah satu mahasiswa penerima beasiswa STF UIN Jakarta yang juga aktif di organisasi Ikatan Remaja Masjid Jami Nurul Yaqin Desa Cidokom.
“Saya sudah pernah membuat program saung baca di masjid. Bukunya sudah ada, tempatnya juga sudah siap, tapi waktu itu tidak berjalan karena kurangnya sumber daya manusia dan minat anggota,” kenang Anjas.
Tahun 2022 menjadi titik balik. Saat diterima kuliah di UIN Jakarta dan mendapat amanah untuk membantu pengelolaan Rumah Wakaf Cercondeso, Anjas melihat peluang untuk menghidupkan kembali gagasan taman baca, namun kali ini dalam bentuk yang lebih terstruktur dan terbuka untuk masyarakat luas.
“Awalnya saya ingin mengumpulkan mahasiswa asal Cidokom, tapi antusiasnya masih rendah. Kemudian saya mendapat dorongan dari Kak Dewi, staf STF yang menjadi penanggung jawab Cercondeso, untuk membuka Taman Baca Anak saja, supaya rumah wakaf itu benar-benar bisa dimanfaatkan untuk kegiatan masyarakat,” tutur Anjas.
Akhirnya, pada 8 Oktober 2022, Taman Baca Anak Cercondeso resmi berdiri kembali dengan hanya lima orang anggota. Meski dimulai dengan sederhana, kegiatan ini langsung menarik perhatian anak-anak setempat yang haus akan kegiatan belajar di luar sekolah. Sejak saat itu, TBA Cercondeso terus tumbuh menjadi komunitas pendidikan berbasis literasi yang solid dan berkelanjutan, menjadi ruang aman bagi anak-anak Cidokom untuk tumbuh, membaca, dan bermimpi.
Tantangan Awal
Perjalanan TBA di awal tidak mudah. Anjas menceritakan, tantangan pertama yang mereka hadapi adalah minimnya jumlah relawan dibandingkan peserta.
“Anak-anak yang ikut sekitar 30-40 orang, tapi relawannya hanya 13 sampai 15. Kami kewalahan, apalagi waktu itu belum ada sistem pembelajaran yang jelas,” ujarnya.
Di masa-masa awal, kegiatan masih bersifat bebas. Anak-anak datang dan membaca buku apa saja yang mereka sukai, ditemani oleh kakak mentor. Belum ada alur kegiatan, tema, atau evaluasi yang terstruktur.“Waktu itu ya seadanya, asal anak-anak mau datang dan membaca, kami sudah senang,” tambahnya.
Namun, seiring waktu, sistem mulai dibenahi. Struktur organisasi dibentuk agar kegiatan bisa berjalan lebih efektif. Kini TBA memiliki lima divisi utama, yaitu:
- Divisi Acara, bertanggung jawab atas penyusunan kegiatan dan materi anak,
- Divisi Administrasi, mengelola data, absensi, dan dokumentasi internal,
- Divisi Humas, menjalin komunikasi dengan masyarakat dan pihak luar,
- Divisi Dokumentasi & Editing, mengabadikan kegiatan dan membuat publikasi,
- Divisi Riset dan Pengembangan (R&D), bertugas mengkaji kegiatan dan mengembangkan inovasi TBA.
“Setiap divisi punya tupoksi yang jelas, dan ini kami bentuk agar para relawan juga belajar berorganisasi,” jelas Anjas.
Sistem Kegiatan: Belajar, Bermain, dan Berkarya
Kegiatan TBA diselenggarakan setiap Minggu pagi pukul 09.00–11.00 selama tiga bulan per batch, dengan total 10–12 pertemuan. Struktur kegiatan dibuat agar selaras antara literasi, kreativitas, dan pengembangan karakter anak.
Setiap pertemuan dimulai dengan sesi membaca selama 30 menit menggunakan bahan bacaan ringan dan mudah dipahami. Materi membaca disusun oleh Divisi Acara dan dikaitkan langsung dengan kegiatan tematik di hari itu.
“Misalnya anak-anak membaca tentang kesenian dari tanah liat, lalu mereka praktik membuat karya dari tanah liat. Jadi apa yang mereka baca nyangkut di kepala karena langsung dipraktekkan,” terang Anjas.
Selain itu, TBA juga menyiapkan sesi kuis dan reward untuk melatih keberanian berbicara anak, serta ice breaking agar kegiatan tetap menyenangkan. Sebelum kegiatan ditutup, anak-anak diajak menyiapkan penampilan seperti menyanyi, menari, atau membaca puisi untuk acara penutupan.
Fokus utama TBA adalah penguatan literasi anak-anak di tengah derasnya arus digital.
“Kami sadar tingkat literasi di Indonesia masih rendah, apalagi anak-anak sekarang lebih banyak menghabiskan waktu dengan ponsel,” jelas Anjas.
Namun, konsep literasi di TBA tidak hanya tentang membaca buku, tetapi juga mencakup proses belajar yang menumbuhkan keberanian, kreativitas, dan berpikir kritis. Lebih jauh lagi, TBA membawa misi untuk menanamkan kesadaran pentingnya pendidikan tinggi kepada anak-anak dan masyarakat.
“Semua pengajar di sini mahasiswa. Kami ingin menunjukkan bahwa kuliah itu penting, bahwa pendidikan tinggi bisa mengubah cara berpikir mereka. Anak-anak bisa lihat langsung contoh konkritnya dari kakak-kakak volunteer,” ungkapnya.
Di Desa Cidokom, jumlah mahasiswa masih sangat sedikit. Melalui TBA, Anjas dan tim berharap dapat mengubah pandangan masyarakat agar lebih berani melanjutkan pendidikan setelah SMA atau SMK.
Dampak Nyata: Bagi Anak, Relawan, dan Masyarakat
Seiring berjalannya waktu, TBA menunjukkan dampak nyata, baik bagi anak-anak maupun para relawan.
Bagi anak-anak, TBA menjadi ruang aman untuk belajar, bermain, dan mengembangkan diri. Mereka lebih berani berbicara di depan umum, lebih kreatif dalam berkarya, dan lebih gemar membaca.
“Orang tua bilang anaknya jadi lebih semangat belajar. Yang dulu setiap minggu main HP, sekarang malah bangun pagi buat ikut TBA,” ujar Anjas.
Bagi relawan, TBA menjadi tempat berkembang. Mereka belajar berorganisasi, mengatur kegiatan, berkomunikasi dengan anak, hingga berbicara di depan umum.
“Kami wajibkan volunteer berbicara di sesi evaluasi. Jadi mereka juga belajar public speaking dan berpikir kritis,” jelas Anjas.
Minat relawan juga terus meningkat. Setiap periode pendaftaran (oprec), jumlah pendaftar bisa mencapai 50 hingga 90 orang, termasuk mahasiswa S1 dan S2 dari berbagai kampus, bahkan beberapa yang sudah menikah. Banyak dari mereka yang bergabung lebih dari satu batch dan naik menjadi pengurus harian (BPH).
Dari kegiatan sederhana, kini TBA Cercondeso berkembang menjadi wadah yang terorganisir dan berkelanjutan. Program-programnya semakin matang, dan kepercayaan masyarakat terus meningkat.
“Setiap batch jumlah anak yang ikut selalu bertambah. Itu berarti masyarakat percaya kegiatan ini membawa manfaat,” tutur Anjas. Ke depan, Anjas berharap TBA dapat terus tumbuh dan menjadi fondasi utama dalam membentuk generasi muda yang cerdas, kreatif, dan berani menghadapi tantangan zaman. (Putri K. Nuzullah/ Volunteer STF UIN Jakarta)







