Ciputat – 18-19 Oktober 2021, Social Trust Fund (STF) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berkolaborasi dengan Preventing Violent Extremism through Promoting Tolerance and Respect for Diversity (PROTECT) Project UNDP Indonesia, menyelenggarakan workshop dengan tema “Inclusive Philanthropy Fundraising: Strategies and Techniques for Humanitarian Programs” For Middle Management of Philanthropy Institutions. Workshop ini memiliki tujuan untuk mensosialisasikan aktifitas fundraising yang inklusif kepada lembaga filantropi berbasis agama, memberikan kesadaran tentang agama serta prinsip hak asasi manusia dalam aktifitas fundraising, selain itu meningkatkan kapasitas lembaga filantropi dalam menciptakan narasi kemanusiaan yang inklusif dalam fundraising. Workshop ini mengundang sekitar 40 lembaga filantropi berbasis agama melalui Zoom Meeting yang terdiri atas perwakilan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu serta Budha. Workshop ini menghadirkan pula 6 narasumber ahli di dunia filantropi seperti Prof. Amelia Fauzia (Direktur Social Trust Fund Jakarta dan Ahli dalam Filantropi Islam), M. Zuhdi, Ph.D. (Wakil Direktur Social Trust Fund UIN Jakarta dan Ahli dalam Filantropi Islam), Hamid Abidin (Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia dan Ahli dalam Fundraising), M. Sabeth Abillawa (Ahli dalam Fundraising), Arifin Purwakananta (Anggota dari Asosiasi Fundraiser Professional), dan Dewi Sri Sumanah (Communication & Advocacy Manager of Save the Children). Workshop yang berlangsung selama dua hari ini terbagi atas enam sesi yang masing-masing tiga sesi perharinya.

Hari pertama, Senin 18 Oktober 2021, workshop dibuka pada pukul 09.00 WIB dengan sambutan dari M. Zuhdi, Ph.D. selaku Wakil Direktur Social Trust Fund (STF) UIN Jakarta dan Iwan Misthohizzaman selaku National Project Manager of PROTECT Project UNDP Indonesia. Pada hari pertama ini terdapat tiga sesi dengan menghadirkan tiga narasumber ahli. Sesi pertama dimulai dengan pemaparan materi dari Prof. Amelia Fauzia dengan tema “Inclusive philanthropy and Why We Need it?”.

 

 

 

 

Prof. Amelia Fauzia menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga hal yang harus dipikirkan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan aktifitas fundraising yaitu narasi, siapa target donatur, dan target penerima. Kemudian Prof. Amel memberikan contoh-contoh campaign dalam fundraising yang umumnya selalu dinarasikan dengan menggambarkan korban sebagai subjek penderitaan “Victimize.” Prof. Amel menuturkan bahwa filantropi merupakan aktifitas memberi untuk kebaikan bersama yang memiliki beragam bentuk seperti sedekah, zakat, donasi kemanusiaan, wakaf, volunteer, qurban, persepuluhan, dana, dan sebagainya. Filantropi berbasis agama menurutnya merupakan salah satu pendorong kuat gerakan filantropi. Keberadaan sikap inklusif yakni sikap yang menghormati keragaman dan semua pihak dalam filantropi mampu menguatkan unsur kemanusiaan, menjalankan prinsip keadilan dan memiliki perspektif HAM atau Maqashid Syariah. Kemudian Prof. Amel mengajukan pertanyaan kepada para peserta workshop tentang mengapa filantropi inklusif dibutuhkan? Jawaban-jawaban beragam para peserta kemudian muncul di layar. Ada yang menyebutkan untuk kemanusiaan, keragaman, kepedulian, memperkuat gerakan, untuk perdamaian, dan sebagainya. Prof. Amel kemudian menuturkan bahwa kehadiran filantropi inklusif memberikan kekuatan bagi pemberian yang efektif, mengurangi potensi konflik sosial, dan mampu menekan potensi segregasi sosial.

Sesi kedua dilanjutkan dengan pemaparan materi dari Bapak M. Zuhdi, Ph.D. dengan materi berjudul “Religious ethics and the Basis of Human Rights Values ​​in Philanthropy Organisation”. Pak Zuhdi menjelaskan bahwa etika beragama mengajarkan tentang apa yang benar dan salah, baik dan buruk dari sudut pandang agama. Setidaknya ada 5 etika beragama yang beliau paparkan yaitu kemanusiaan yang meliputi kepedulian dan empati, kejujuran, integritas, transparansi, dan melakukan kebaikan serta kebenaran. Beliau menuturkan dalam praktik filantropi terdapat beberapa tantangan etika beragama di antaranya bagaimana mempromosikan nilai agama tanpa mengganggu bahkan menyinggung keyakinan orang lain, mempromosikan ide tanpa memprovokasi orang lain, menolong orang tanpa melukai serta melanggar hak asasi orang lain, tidak menjual kemiskinan atau penderitaan, menyebarkan kebahagiaan tanpa membagikan kesedihan, dan menjaga integritas lembaga filantropi dalam menggunakan dana publik dengan penuh tanggung jawab.

Sesi ketiga kemudian dilanjutkan oleh Pak Hamid Abidin yang memaparkan topik berjudul “Fundraising Principles (open eyes, open minds, open hearts, open wallets), Organisation, Process, Stages, and Ethics.” Pak Hamid menjelaskan prinsip-prinsip fundraising di antaranya buka mata, buka pikiran, buka hati, dan buka dompet. Selain itu beliau memaparkan mengenai siklus serta tahapan fundraising yang meliputi penyiapan organisasi, perumusan program, penentuan donatur atau mitra, penentuan metode fundraising, dan perawatan donatur atau mitra. Kemudian Pak Hamid memaparkan kebijakan-kebijakan mengenai fundraising yang terbagi atas dua yaitu external regulation (pemerintah) dan internal regulation (organisasi atau asosiasi).

Hari kedua, Selasa 19 Oktober 2021 dilanjutkan dengan sesi keempat dengan narasumber Bapak M. Sabeth Abillawa yang memaparkan materi berjudul “Techniques in Analyzing Humanitarian Conflict, Disasters, and Creating Inclusive Fundraising.” Pak Sabeth memulai pemaparannya dengan masalah-masalah yang ada ketika terjadi bencana kemanusiaan di antaranya media yang menggiring berita, isu yang dibuat, adanya koordinasi serta berjejaring, momentum, dan nilai-nilai yang disampaikan. Ketika terjadi bencana kemanusiaan maka hal-hal yang perlu kita telaah adalah karakter bencana, menganalisa aktor, kebutuhan yang diperlukan, cek hubungan lokal, merancang kampanye publik, serta melakukan mitigasi risiko komunikasi.

Sesi kelima dilanjutkan oleh Pak Arifin Purwakananta yang memaparkan materi tentang “Promoting Inclusive Fundraising.” Pak Arifin memulai dengan etika-etika dalam fundraising seperti targeting, fundraising advertising, public relation, packaging and brand, fundraising promotion, online fundraising, face to face fundraising, competition, dan cooperation fundraising. Selain itu beliau menjelaskan mengenai komunikasi dalam fundraising yang didasarkan pada 4 hal yaitu value, trust, program, dan leadership. Pak Arifin yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama Baznas menjelaskan mengenai implementasi aktifitas fundraising yang telah dilakukan Baznas yakni terus mendorong kampanye penggalangan dana agar memperhatikan aturan syariah serta komunikasi yang inklusif, kampanye fundraising tidak mendorong sentimen antarkelompok, dan kampanye fundraising yang mendorong semangat kemanusiaan serta tolong menolong antarsesama manusia.

Sesi keenam yang merupakan sesi terakhir workshop dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Ibu Dewi Sri Sumanah dengan materi berjudul “Ethic and Strategy for Communication and Public Campaign: Impact and Danger.” Ibu Dewi menjelaskan mengenai risiko-risiko yang akan dihadapi anak-anak ketika kita mewawancarainya pascabencana kemanusiaan, di antaranya seperti bunuh diri, penyerangan, trafficking, trauma berulang, stigma sosial, mendapat hukuman dari masyarakat, dan lain sebagainya. Risiko-risiko ini ke depan akan memberikan dampak pada keberadaan anak-anak lainnya yang memiliki kesamaan. Ada segitiga risiko yang mungkin akan menyebabkan risiko yang lebih besar yaitu ketika menyebutkan nama asli, menampilkan wajah, dan menyebutkan lokasi. Untuk memaksimalkan aktifitas fundraising, beliau menuturkan tentang beberapa strategi komunikasi yang dapat dilakukan lembaga filantropi seperti internalisasi komunikasi, investasi tim komunikasi, melakukan riset tentang public awareness, memanfaatkan media sosial untuk interaksi lembaga, komunikasi dengan penerima manfaat serta donatur, dan evaluasi secara berkala terkait kerja komunikasi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here