Berbicara mengenai Signifikansi Kajian Sejarah Islam di Era Kontemporer, kita tentu akan berbicara tentang realitas sejarah itu sendiri yang bisa kita ambil signifikansi dari relevansinya untuk masa sekarang. Sejarawan mempunyai hak untuk memilih topik-topik yang dia inginkan, apa saja bisa dikaji asalkan sesuai dengan aturan atau kaidah-kaidah ilmiah. Sejarah itu tidak pernah berhenti, meskipun sudah ditulis orang terdahulu namun kita terus menggali untuk mendapatkan informasi dari sumber-sumber terbaru ataupun adanya interpretasi baru yang muncul dengan metode yang baru.

Pada sesi kali ini, pemateri mengambil contoh dari salah satu kasus yang sedang beliau dalami, yaitu mengenai Soft Approuch dari seorang tokoh intelektual Islam di Aceh dan juga dikenal di Nusantara, Syeikh Abdurrauf As Singkili.

Smilling Islam apabila dikaitkan dengan tasawuf adalah bagaimana kita bisa toleran kemudian mencitrakan islam yang rahmatan lil ‘alamin, penuh damai melalui sejarah yang sudah terjadi di masa lampau dengan upaya Soft Approuch. Materi yang akan disampaikan terkait sejarah islam terutama di Aceh yang diwakilkan oleh As-Singkili dan Ar-Raniry. As-Singkili terkenal sebagai seorang suffi juga seorang mufti Aceh dimana segala fatwa dan hukum-hukum beliau menjadi pusat kebijakan hukum Islam di Aceh.

Soft Approuch adalah pendekatan yang ramah dan juga toleran yang sesuai dengan kebutuhan saat itu. Approuch ini tentu sangat menginspirasi, sehingga dapat kita gunakan, manfaatkan, adopsi atau adaptasi untuk di masa sekarang. Dimana pada masa sekarang orang-orang saling kafir-mengkafirkan, ketika melihat pendapat orang lain yang salah itu dianggap tidak baik kalau berbeda dengan pendapatnya. Berbicara mengenai kontroversi yang muncul dari sejarah, tentunya akan membedah persoalan isu yang hangat pada masa itu, isu yang membuat orang saling melempar pendapat dan saling mengkafirkan, juga membuat kebijakan-kebijakan yang dianggap sadis ataupun tidak bisa diterima oleh akal sehat.

Pertama yang akan dibahas adalah kisah Ar-Raniry, beliau seorang yang berasal dari Gujarat, India yang datang ke Aceh pada tahun 1637 M dan berada di Aceh selama 7 tahun. Beliau merupakan seorang yang sangat kuat memegang ahlussunnah wal jamaah atau sering dikatakan ortodoksi. Ar-Raniry masuk ke Aceh setelah Sultan Iskandar Muda wafat pada tahun 1637 M, Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai seorang sultan yang kuat, dianggap bengis dan ditakuti. Setelah beliau wafat, pemegang kekuasaan digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani yang merupakan anak angkatnya sekaligus menjadi menantunya.

Di balik kedatangannya di Aceh, Ar-Raniry memiliki misi tertentu yaitu berupaya untuk menghilangkan dan menghancurkan praktek mistikal yang heterodoks, menyalahi ajaran Islam di Aceh. Hal ini merusak akidah dari saudara-saudara kita di Asia Tenggara, juga di Tanah Melayu, inilah yang beliau sebut dengan wujudiyah yang zindiq, yang menyalahi ajaran dan juga atheis. Ar-Raniry mengeluarkan fatwa bahwa pengikut wujudiyah itu kafir. Setelah Ar-Raniry masuk ke Aceh, Sultan Iskandar Tsani mengangkat beliau sebagai Syeikh Islam dan juga menjadi penasehat penguasa selama 7 tahun beliau berada disana. Ar-Raniry menjelaskan dalam kitab At Tibyan, ketika beliau pulang ke Gujarat beliau menulis buku yang menjelaskan tentang semua yang beliau lakukan di Aceh, yaitu membunuh para pengikut dari wujudiyah dan membakar buku-buku mereka didepan masjid Raya Baiturrahman. Ar-Raniry melakukan itu semua dibawah kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani.

Setelah Tsani wafat, kedudukannya digantikan oleh Sultanah Safiatuddin yang menjadi Ratu pertama di Aceh kala itu. Beliau merupakan anak Sultan Iskandar Muda dan istri dari Sultan Iskandar Tsani. Safiatuddin diangkat menjadi pemimpin Aceh setelah melalui beberapa test atau diuji oleh katib negara. Setelah dilihat dari karakternya, beliau adalah seorang yang moderat dan soft dalam menghadapi perbedaan pendapat, barulah beliau diterima.

Pada masa ini, terjadilah perdebatan sengit antara orang-orang wujudiyah dan Ar-Raniry di istana tahun 1644 M. Menurut informasi yang diberikan oleh salah seorang Belanda, dia mengatakan bahwa informasi yang dia terima ketika terjadi perdebatan antara kedua pihak ini, Sultanah tidak mengerti tentang tasawuf hingga akhirnya sekutunya menyerahkan keputusan kepada hulubalang atau para petinggi bangsawan. Setelah keputusan diambil oleh hulubalang, Ar-Raniry keluar dari istana yang berarti Ar-Raniry telah kalah, bukan dari aspek mempertahankan ide atau pendapatnya tentang rusaknya wujudiyah namun terkait dukungan dari penguasanya. Misinya untuk menghancurkan, membuang, mengikis aliran wujudiyah baik melalui tulisan maupun perdebatan itu tidak berhasil.

Berlanjut kepada kisah As-Singkili, seorang yang berasal dari Singkil. Dua tahun sebelum Ar-Raniry angkat kaki, As-Singkili meninggalkan Aceh dengan tujuan untuk belajar Islam di Arabia pada tahun 1642 M ketika Aceh sedang bergejolak oleh aspek itu. As-Singkili tentu memperhatikan dan menyaksikan semua tindakan yang dilakukan oleh Ar-Raniry. Beliau berangkat ke Arabia dan kembali 19 tahun stelah itu pada tahun 1661 ketika yang menjadi pemimpin Aceh adalah Safiatuddin. Pemateri menjelaskan bahwa As-Singkili bukanlah seorang tokoh yang revolusionery, tidak berjiwa evolusioner tapi juga tidak ambisius, beliau sebagai Syeikh Islam hanya mengurusi hal-hal yang terkait dengan agama saja dan menulis banyak kitab. Beliau tidak masuk dalam bidang politik, ekonomi, dan yang lainnya sebagaimana syeikh yang sebelumnya.

Pandangan As-Singkili terhadap kasus yang terjadi di Aceh pada saat itu, sebagai orang yang menganut ahlussunnah wal jamaah, pemimpin perempuan itu tidak serta merta diakui atau diterima. Namun beliau sangat menyanjung dan menghargai Safiatuddin sebagai seorang penguasa, dalam kitabnya beliau mengatakan bahwa khalifah atau pemimpin itu berawal dari Adam, terus berlanjut hingga ke para nabi dan sampailah ke Aceh yang dipimpin oleh seorang ratu. Beliau menyebutkan bahwa keberadaan Sultanah Safiatuddin didukung oleh para ulama. Yang menarik dalam pengkajian mengenai hal ini adalah pandangan tokoh barat yang mengatakan bahwa munculnya Sultanah itu karena adanya faktor politik ekonomi, dimana orang-orang kaya sebelumnya takut kepada Sultan Iskandar Muda, sosok seorang pemimpin yang dianggap sangat keras dan sangat kejam, maka mereka mencari dan menjadikan perempuan sebagai penguasa agar mereka bebas bergerak dalam bidang ekonomi.

Pemateri mengatakan bahwa dirinya tidak melihat itu sebagai sebuah alasan yang komprehensif, karena kita juga harus melihat dari perspektif politika keagamaan. Begitu kuat pengaruh As-Singkili dan penerimaan masyarakat terhadap Safiatuddin sebagai pemimpin perempuan. Dan kita ketahui bahwa di Asia Tenggara, keberadaan perempuan sebagai penguasa itu sudah biasa bahkan diakui oleh dunia barat dan sejarawan baik didalam maupun luar negri.

Kemudian bagaimana pandangan As-Singkili terhadap wujudiyah? Pertama, beliau mengkritik gerakan wujudiyah ini terhadap mereka para penganut wujudiyah karena megajarkan ajaran ini kepada masyarakat biasa yang tidak mengerti mengenai hal ini. Menurut As-Singkili cukuplah ajaran ini bagi mereka saja yang menganutnya tanpa harus melibatkan masyarakat umum lainnya. Kedua, As-Singkili mengkritik ajaran Ar-Raniry yang terlalu keras dan tidak toleran. As-Singkili adalah orang yang sangat tidak setuju dengan gaya ajaran Ar-Raniry. As-Singkili mendekati para penganut wujudiyah untuk membawa mereka kembali kepada ajaran yang menurut kita adalah ajaran ahlussunnah wal jamaah atau menurut istilah orang barat disebut ortodoksi yang soft. Beliau mengutip dari hadits yang berbunyi “Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan fasik dan jangan pula menuduhnya dengan tuduhan kafir, karena tuduhan itu akan kembali kepada dirinya sendiri jika orang lain tersebut tidak sebagaimana yang dia tuduhkan.” (HR. Bukhari no. 6045). Inilah yang digaungkan oleh As-Singkili mengenai kasus ini.

Pelajaran yang dapat kita ambil dari Ar-Raniry ini adalah bahwa upaya Ar-Raniry dengan segala kebijakan yang diambilnya dengan menulis buku, pendebatan polemik, mendekati pemimpin untuk melakukan kebijakan pembunuhan dan pembakaran buku dan kitab-kitab wujudiyah itu tidak berhasil, karena sudah begitu melekat pada masyarakat dan tokoh-tokohnya. Lalu bagaimana dengan pendekatan yang dilakukan oleh As-Singkili, pendekatan yang ramah, moderat, dan lebih menyesuaikan. Disampaikan oleh pemateri bahwa sampai saat ini tidak terlihat lagi kemunculan aliran wujudiyah, walaupun tidak habis namun mayoritas sudah terkikis sehingga kita tidak lagi mendengar dan menemukan adanya propaganda aliran ini pada masa sekarang. Artinya As-Singkili berhasil membawa akidah umat di Aceh ke jalan yang benar dengan pendekatan yang soft dan toleran. Inilah realitas sejarah yang sangat relevan untuk kita jadikan contoh dan kita manfatkan pada zaman sekarang ini. Dilihat pula dari sejarahnya bahwa di Indonesia sendiri yang dulu dikenal sebagai Nusantara, pendekatan Islam ini jauh lebih menyesuaikan, dengan cara yang lebih halus sehingga terjadi adaptasi secara perlahan terhadap ajaran Islam, tidak dengan cara kekerasan tapi dengan cara soft yang disampaikan kepada masyarakat.

Closing Statement dari pemateri terkait mengapa sejarah itu signifikan dengan isu-isu kontemporer pada masa sekarang ini, pemateri mengutip dari salah seorang ahli sejarah yang mana dikatakan bahwa kita semua adalah sejarawan, baik akademisi maupun amatir. Masing-masing kita adalah sejarawan, kita punya masa lalu, kita harus tahu minimal sejarah silsilah keluarga kita sendiri, dan kita tidak bisa terlepas dari itu. Dikutip pula menurut Abdurrahman, ilmu sosial yang paling penting adalah sejarah, yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang paling penting juga adalah sejarah, karena ilmu berkembang dari masa ke masa dan ditransformasi dari generasi ke generasi berikutnya. Kita di masa saat ini untuk menghadapi masa depan perlu berdasarkan apa yang sudah terjadi di masa lalu. Untuk memahami kondisi kita sekarang dan untuk merencanakan program riset ke depan kita juga harus tahu sejarahnya supaya tidak terulang kesalahan yang sama.

Sumber: Shortcourse Belajar Islam untuk Profesional (BISPRO), Rabu, 13 April 2022

Narasumber: Prof. Dr. Amirul Hadi., M.A.

Resume ditulis oleh: Ananda Dhea Virginia, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here