Dari rasul kita dapat belajar bagaimana membangun diri yang kuat, kreatif, tidak mudah menyerah, dan mentransformasi masalah menjadi kekuatan. Kebenaran hanya bisa dibela dengan keluasan sebab kebenaran yang kita anut berasal dari zat yang luas Allah SWT. Keterhubungan dengan keluasan dan keragaman perlu pembelajaran. Sebelum menjadi rasul, rasul adalah pembelajar yang baik.

Untuk membangun keluasan seperti rasul kita harus meletakkan rasul dalam pertumbuhan kemanusiaan rasul yang panjang mulai dari lahir, dibesarkan sebagai anak yatim, diurus oleh pamannya kemudian kakeknya. Dibesarkan oleh orang yang berbeda seperti itu akan melahirkan perbedaan juga. Ketika diangkat menjadi rasul, rasul akan terhubungkan dengan keluasan ajaran Islam. Karena terhubung dengan keluasan rasul akan mempunyai rujukan yang tak terhingga ketika harus menyelesaikan masalah.

Putusan rasul akan selalu dinamis, berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Ketika kita mencontoh rasul kita tidak mencontoh dengan figur yang dimatikan atau sahabat yang diasosiasikan dengan kasus tertentu pada pengalaman tertentu. Kita akan dihadapkan dengan berbagai keragaman pengalaman rasul sehingga waktu kita akan mencontoh kita berhadapan dengan dunia kini, kita disodorkan dengan model yang beragam.

Seringkali kita mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan persoalan keseharian. Hal ini dikarenakan kita sudah menutup referensi. Pertama kita mungkin sudah lama tidak membaca hidup rasul. Kedua kalaupun membacanya kita membaca dari suatu perspektif lewat satu buku atau satu kitab padahal banyak kitab dan hadist yang menulis tentang rasul.
Bisa jadi kita memiskinkan diri secara sadar karena keterbatasan waktu atau mungkin kita sebenarnya banyak waktu tetapi kita memilih untuk melihat hal lain dan menelantarkan rasul serta para sahabatnya yang semestinya kita baca lebih baik supaya kita punya rujukan lebih banyak. Hal tersebut berakibat pada saat kita berhadapan dengan masalah kita hanya memiliki referensi yang sangat terbatas ditambah keterbatasan diri dalam menyelesaikan masalah.

Dalam khotbah pertama nabi di Madinah beliau mengakhiri khotbahnya dengan mengatakan “Perbanyaklah kalian ingat kepada Allah”, “Lalu bekerjalah bukan untuk hari ini tapi untuk hari masa depan” dan, “Perbaiki hubunganmu dengan yang di atas. Jika itu kamu lakukan maka Allah akan mencukupi hubunganmu dengan sesama manusia.” Keterhubungan yang baik akan ditentukan oleh kemampuan kita dalam melakukan program-program untuk masa depan yang lebih baik.

Dengan belajar sejarah ketika kita jenuh dengan masa sekarang kita bisa pergi ke masa lalu. Di masa lalu kita mempunyai rujukan. Ada rasul dan musuh-musuhnya serta bagaimana cara menghadapi musuhnya. Itu semua tidak mungkin didapatkan di masa kini.

Jadi untuk mematangkan diri kita pertama belajar dengan rasul sebelum rasul menjadi rasul supaya mengerti bagaimana menjadi manusia lebih baik lagi dan bisa belajar dengan sesama manusia tanpa wahyu. Kedua, belajar dengan rasul, dalam keragaman rentang waktu, rentang masalah, dan para sahabat. Ketiga, belajar dari minoritas supaya kita bisa mengoreksi mentalitas kita yang mayoritas. Dengan melakukan hal-hal tersebut kita akan punya referensi yang kaya.

Narasumber: Dr. Fuad Jabali (Juri Member of Islamic Indonesia)
Penulis: Farah Yuniar/FISIP/Mahasiswa KKN in Campus

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here