Dalam program Belajar Islam untuk Profesional (Bispro) Dr. Muhammad Maksum, S.H.,M.A.,MDC (Dosen Hukum Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) membahas topik “Bagaimana Proses Berijtihad”.

Ijtihad adalah suatu kegiatan atau aktivitas di mana aktivitas itu mencurahkan berbagai kemampuan dan kompetensi mujtahid dari berbagai sumber referensi yang dikerahkan dalam rangka mencari ilmu dalam hukum syariah atau menetapkan suatu hukum dari dalil-dalil yang terperinci dalam syariah. Menjadi mujtahid merupakan pekerjaan yang sangat mulia. Mujtahid di era modern diantaranya pemimpin agama, hakim, dan mufti.

Terdapat tiga jenis ijtihad yaitu ijtihad bayani, ijtihad qiyasi, dan ijtihad istishlah. Ijtihad bayani adalah sebuah proses untuk menetapkan suatu hukum dengan memberikan ketetapan hukum yang lebih jelas dari apa yang ada di dalam Al-Qur’an atau hadis.

Lalu ijtihad qiyasi berarti ada suatu peristiwa hukum di mana peristiwa hukum itu hukumnya belum ada. Namun, padanannya dalam hukum sebelumnya sudah ada dan memiliki kesamaan dari sisi sebab. Sedangkan ijtihad istislahi adalah ijtihad yang secara metodologis menggunakan metode-metode yang sudah digunakan oleh para ulama-ulama terdahulu di mana prinsip dasarnya terkait kemaslahatan.

Dalam melakukan ijtihad terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi diantaranya memahami makna bahasa dan hukum ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, memahami makna bahasa dan hukum hadis hukum, memahami nasikh dan mansukh, mengetahui persoalan ijma dan bidang yang disepakati secara ijma, kemudian memahami ketentuan dan bidang qiyas. Selain itu, dalam melakukan ijtihad juga harus memahami bahasa arab secara komprehensif, menguasai ilmu ushul fikih, dan menguasai tujuan syariat.

Para ulama sepakat objek ijtihad itu ada dua yaitu yang pertama tidak ada nash. Jadi tidak ada nash yang mengatur seperti pada persoalan-persoalan modern, misalnya masalah vaksin. Yang kedua ada nash tapi tidak qath’i. Setelah melihat dalam Al-Qur’an, para ulama sudah mencoba membandingkan ternyata nash-nash yang qath’i itu lebih sedikit.

Hukum ijtihad fardhu ain jika hanya satu mujtahid, menjadi fardu kifayah jika ada banyak mujtahid dan persoalan tidak harus segera dijawab, menjadi sunnah ketika berijtihad untuk suatu yang akan datang, dan haram karena bertentangan dengan nash qath’i (teks yang sudah jelas maknanya, tidak perlu ditafsirkan lagi).

Derajat atau kelompok mujtahid dari yang paling rendah:
1. Mujtahid fatwa, orang berijtihad untuk kepentingan-kepentingan yang sifatnya pertanyaan-pertanyaan umum atau cepat maka muncul yang namanya fatwa.
2. Mujtahid tarjih, mujtahid yang secara keilmuan memadai. Namun, ia berada dalam upaya membandingkan pendapat-pendapat ulama yang sudah ada.
3. Mujtahid takhrij, sudah bisa membuat hukum dari metode dan pendapat-pendapat yang ada di ulama-ulama sebelumnya.
4. Mujtahid mutlak, tidak membuat metodologi sendiri tetapi menggunakan metodologi yang sudah ada. Namun ia bisa menyimpulkan hukum yang berbeda.
5. Mujtahid mustaqil, membuat metode ijtihad sendiri kemudian menetapkan hukum sendiri.

Berijtihad itu mulanya mendasarkan pada nash Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan, menggali dari ketentuan yang terdapat dalam hadis. Jika masih tidak ditemukan mengumpulkan ijma untuk dijadikan rujukan. Kemudian jika masih tidak ditemukan memperhatikan qiyas dengan mempertimbangkan illat hukum dan terakhir menggunakan metode yang digagas ulama.

Ijtihad sangat penting karena nash terbatas sementara Al-Qur’an dan hadis sudah selesai. Namun peristiwa hukum terus berjalan (persoalan hukum bertambah). Pada dasarnya semua proses ijtihad maupun fatwa bertujuan untuk mendapatkan kemaslahatan dan menghindari kemudharatan. Wallahu a’lam bisshawab
Penulis: Farah Yuniar/FISIP/Mahasiswa KKN in Campus

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here